Ide mengenai topik ini terlintas dibenak saya saat kami melakukan diskusi bersama mengenai K3 dan persiapan memasuki musim panas hari jumat kemaren.
Di bulan juni, total hujan yang dibaca oleh Automatic Weather System (AWS) di areal kebun menunjukkan angka 82 mm. Itu artinya intensitas hujan sudah sangat rendah. Artinya lagi, musim kering sudah datang.


Masalah yang selalu berulang ketika musim panas tiba adalah kebakaran hutan / lahan. Yang kemudian menyebabkan kabut asap. Dan biasanya, perusahaan kelapa sawit “dituding” sebagai aktor utama dari sebagian besar kebakaran lahan/hutan tersebut.
Apakah itu benar ?
Sekali lagi, (menurut saya) hal tersebut masih terlalu debatable. Jika kita menyebut “perusahaan” (apalagi perusahaan-perusahaan dengan kategori besar) membuka lahan dengan membakar hutan, resiko yang dipertaruhkan terlalu besar. Lebih banyak kerugiannya daripada keuntungannya.
Beberapa alasannya pernah saya sampaikan pada tulisan : Membangun Menara Api
Sebelum membahas mengenai Inti dari PP No. 4 Tahun 2001, coba kita lihat dulu beberapa aturan lain tentang pembakaran lahan.
Apakah membuka lahan dengan membakar hutan diperbolehkan ? Tentu saja tidak. Beberapa aturan yang mencantumkan hal tersebut antara lain :
UU PPLH : Pasal 69 ayat (1) huruf h UU PPLH yang berbunyi: “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar”
UU Perkebunan : Pasal 56 (1) No. 39 Tahun 2014 tentang perkebunan yang berbunyi : “Setiap Pelaku Usaha Perkebunan dilarang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar”
Masih ada beberapa lagi aturan yang melarang pembukaan lahan/hutan dengan cara dibakar. Namun seperti yang diketahui dan selalu menjadi headline ketika kebakaran terjadi adalah celah dalam UU PPLH yang masih memperbolehkan masyarakat membuka lahan dengan cara dibakar jika luasannya dibawah 2 Ha. Biarlah ini menjadi tugas pemerintah yang memikirkannya.
Sebagai perusahaan, tidak membuka lahan dengan cara membakar saja ternyata tidak lantas membebaskan kewajiban perusahaan terhadap dampak kebakaran hutan yanng terjadi. Ini yang masing sering kurang dipahami. Dalam PP No. 4 Tahun 2001, Pasal 14 dan UU No. 39 Tahun 2014, Pasal 56 diatur jelas mengenai hal tersebut.
Berikut coba saya uraikan detailnya, apa saja yang harus dipersiapkan perusahaan (terutama perkebunan kelapa sawit) untuk memenuhi regulasi tersebut.
Deteksi dini bisa berupa rambu yang menunjukkan kondisi cuaca terkini. Rambu ini sebagai indikator awal bagi masyarakat tentang kondisi kekeringan yang sedang berlangsung.

Selain itu, untuk pemantauan dini kebakaran hutan harus dibuat juga menara pantau api. Petugas pemantau api, sebaiknya dilengkapi dengan teropong, agar bisa melakukan pemantauan dengan coverage are yang lebih luas.

Untuk mencegah kebakaran hutan, perusahaan wajib menyediakan beberapa peralatan yang memadai. Antara lain : mobil pemadam kebakaran, mobil tangki air, pompa air dan sumber-sumber air (kolam, waduk atau parit).



Contoh SOP :
Contoh orgnisasi tim KTDKL (Kesiapsiagaan Tanggap Darurat Kebakaran Lahan)
contoh pelatihan simulasi pemadam kebakaran :
Kesimpulannya : Perusahaan sawit diharapakan bukan saja tidak membuka lahan dengan cara membakar. Namun, juga diharapkan berpartisipasi aktif melakukan pencegahan. Jika kebakaran terjadi sekitar areal HGU nya, perusahaan juga harus berupaya maksimal melakukan pemadaman, walaupun kebakaran hutan tersebut merupakan dampak dari pembakaran lahan oleh masyarakat.
Mari Peduli…